Minggu, 24 Juni 2012

MANUSIA & KEGELISAHAN


DEFINISI PHOBIA

Suatu situasi dimana seseorang bertindak irasional dan mempunyai ketakutan yang besar akan sesuatu. Biasanya seseorang yang mempunyai phobia akan merasakan suatu ketakutan pada saat tertentu.
Secara umum, terdapat 3 macam phobia, yaitu:
1.      Ketakutan untuk berada dalam suatu situasi sosial atau berinteraksi dengan orang lain.
2.      Ketakutan berada disuatu tempat tertentu atau tempat yang terletak diluar ruangan.
3.      Ketakutan akan bermacam-macam benda seperti ular, laba-laba atau burung.

PENYEBAB PHOBIA

Kejadian traumatis adalah penyebab paling utama dari phobia. Contohnya seorang anak yang takut dengan kucing, dikarenakan sebelumnya pernah mengalami hal yang tidak diinginkannya seperti dicakar, digigit, ataupun lainnya.

CONTOH KASUS

Aku Hanya Diam Ketika Kalian Memanggilku Autis

Panggil saja dia Aman. Kelas 7 atau kelas 1 SMP. Pendiam, berjalan dengan gaya yang kikuk, selalu menunduk ke bawah. Badannya tidak tinggi, kurus, tapi tampan dan berwajah bentuk kotak. Ketika berbicara dengan saya, jarang dia menatap saya dalam waktu yang lama. Ketika saya tersenyum, dia mulai mengalihkan pandangannya tapi ada senyum di wajahnya.
Pagi ini, saya tanpa sengaja bertemu dia di depan ruang guru. Dia mau turun dari tangga dari lantai dua. Ketika melihat saya, dia memalingkan badan hendak kembali ke kelas tapi lekas saya panggil dia.
“Aman? Nggak ada remidi?” tanya saya disusul dengan gelengan dengan tanpa menatap wajah saya.
“Ikut Ibu yuk. Ibu mau ngobrol sama kamu bentar.” Ajak saya sambil merangkul pundaknya. Dia sedikit kaget dengan cara saya mengajak dia tapi kalau tidak dipaksa dengan cara yang halus seperti ini, masalah dia tidak bisa saya selesaikan.
Seminggu yang lalu, guru matematika menceritakan kepada saya kalau Aman menangis keras di depan beliau pada saat 2 jam terakhir di sekolah. Bu Sul (nama guru matematika untuk kelas 7 di SMP) menceritakan kalau Aman menangis karena dia sering dipanggil dengan sebutan autis oleh beberapa teman sekelasnya. Mamang iya, kata autis sudah tidak asing lagi di sini. Karena SMP ini sudah menjadi sekolah inklusi tingkat Sekolah Menengah yang menerima siswa berkebutuhan khusus dengan tujuan supaya siswa bisa bersosialisasi dengan baik dengan teman-teman reguler.
Tapi sayangnya, terkadang kata autis digunakan oleh beberapa anak untuk dijadikan bahan ejekan kepada teman yang lain yang terlihat “aneh”.
Kembali pada saya dan Aman. Ketika saya tanya tentang menangisnya dia di depan bu Sul, dia mengangguk dan menceritakan seperti dia menceritakan kepada bu Sul. Lalu saya tanya, siapa yang mengejek, dia menyebut 2 anak yang mengejek. Saya tanya namanya, hanya satu nama yang disebutnya, yang lain baru bisa disebut setelah saya menunjukkan foto teman-teman sekelasnya.
Untuk mencari informasi yang lain, saya mulai bertanya tentang hobinya. Diam, itu jawabannya. Mencoba mencari jawaban, saya sebutkan macam-macam kegiatan yang biasanya dilakukan oleh remaja seperti sepak bola, basket, renang, PS, facebook, game online, atau bahkan yang sedikit beresiko seperti nongkrong di warung kopi. Ada satu yang menarik perhatian saya, game online. Atlantica, game yang biasa dia mainkan di rumah dengan menggunakan modem yang dibelikan ayahnya. Dan 39 level yang sudah dia selesaikan sekarang.
“Pernah maen game sama teman sekampung kamu nggak?” Tanya saya yang disusul dengan gelengan.
“Dengan teman-teman, kapan maennya?”
“Jarang Bu, seringnya di rumah. Kalo nggak lagi nge-game, yah tidur.”
“Kenapa di rumah ajah? Katanya ada 4 teman yang sebaya sama kamu di dekat rumah kamu.”
“Nggak papa Bu, males ajah.”
Tidak heran kalau temannya mengatakan dia autis karena dipikiran Aman hanya game yang menjadi kegiatan yang paling seru saat ini. Dia bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk nge-game dan melupakan bersosialisasi dengan dunia nyata. Rasa ogah Aman untuk menjalin komunikasi dengan teman sebayanya di rumah, ternyata terbawa di sekolah. Sesuai dengan dinamika yang ada di kelas Aman, memang Aman merupakan siswa yang jarang diajak berbicara dengan siswa saya yang lain. Itu berdasarkan perbincangan saya dengan beberapa siswa saya, tinggal nanti akan saya korelasikan dengan hasil sosisometri siswa.
“Apa yang kamu lakukan kemarin ketika temanmu mengejekmu autis, Man?”
“Diam Bu. Meskipun awalnya saya menangis, tapi saya diamkan. Dan mereka sudah tidak mengejek saya lagi.” Cara itulah yang dilakukan oleh Aman yang menurutnya efektif sampai sekarang.
Diam memang menjadi pilihan terakhir ketika seorang remaja diejek oleh remaja yang lainnya. Daripada dia mendapatkan masalah dengan temannya kalau dia melawan, lebih baik diam dan cuek.
Tapi untuk Aman, diamnya harus diberi jalan keluar yang lainnya lagi.
Karena dia anak yang sangat pendiam dan hampir melupakan dunia nyatanya, saya menyarankan untuk dia mendekati teman-temannya dalam waktu dekat. Dia menolak, karena itu hal yang berat dilakukan untuk dia tampaknya. Saya beri solusi termudah. Ketika teman-teman sekelasnya sedang ngerumpi atau ngobrol ramai-ramai, ada baiknya Aman mendekat dan ikut bergabung. Meskipun tidak ikut bercerita dan hanya menjadi pendengar yang pasif, tapi setidaknya dia ada di dalam kelompok teman sekelasnya. Setelah terbiasa dengan kelompok temannya, bisa ditingkatkan dengan menceritakan ke teman-temannya kegiatan yang biasa dilakukan meskipun hanya sedikit cerita.
Tapi langkah itu hanya saran, yang melakukan tetap Aman. Saya tidak bisa memaksa dia untuk melakukan saran saya karena saran bisa dilakukan ketika dia sudah bisa bersahabat dengan saran yang saya beri. Tapi tetap saya mendorong Aman untuk terus mencoba.

CARA MENGATASI PHOBIA

Ada beberapa teknik Untuk penyembuhan phobia diantaranya adalah sbb:
1.      Hypnotheraphy: Penderita phobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan phobia.
2.      Flooding: Exposure Treatment yang ekstrim. Si penderita phobia yang ngeri kepada anjing (cynophobia), dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa ekor anjing jinak, sampai ia tidak ketakutan lagi.
3.      Desentisisasi Sistematis: Dilakukan exposure bersifat ringan. Si penderita phobia yang takut akan anjing disuruh rileks dan membayangkan berada ditempat cagar alam yang indah dimana si penderita didatangi oleh anjing-anjing lucu dan jinak.
4.      Abreaksi: Si penderita phobia yang takut pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang anjing, bila sudah dapat tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat dilanjutkan dengan memegang anjing dan bila phobia-nya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan anjing. Memang sih bila phobia yang dikarenakan pengalaman traumatis lebih sulit dihilangkan.
5.      Reframing: Penderita phobia disuruh membayangkan kembali menuju masa lampau dimana permulaannya si penderita mengalami phobia, ditempat itu dibentuk suatu manusia baru yang tidak takut lagi pada phobia-nya.

MANUSIA & TANGGUNG JAWAB


TANGGUNG JAWAB TERHADAP KELUARGA

Menganalisa Artikel  :

Artikel ini adalah menceritakan seorang anak berumur 6 tahun di Negeri Tirai Bambu “Tse Tse” yang rela menjadi seorang pemulung untuk membantu menghidupi keluarganya. Karena ayahnya lumpuh bertahun-tahun, anak yang baru berumur 6 tahun ini terpaksa memikul tanggung jawab rumah tangga. Selain setiap hari mencuci muka ayahnya, memijat dan memberi makan, dia masih bersama ibunya mengambil botol air mineral bekas sebagai tambahan pendapatan keluarga.

Tanggung jawab anak ini membuat saya tertarik untuk menganalisanya, anak berumur 6 tahun yang seharusnya sekolah, ceria dengan teman-teman sebayanya justru harus menerima kewajiban seperti ini.

Sepulangnya bekerja, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember air, lantas dengan tangannya yang mungil ia memeras selembar handuk yang besar, karena handuk terlalu besar buat dia, Tse Tse membutuhkan 3 sampai 4 menit baru bisa mengeringkannya, kemudian dengan handuk itu dia menyeka wajah ayahnya dengan lap itu. Dia sangat teliti melapnya, sepertinya khawatir kurang bersih. Setelah selesai, Tse Tse kemudian berjingkat melap punggung ayahnya, di belakang, selesai semua, dengan puas dia tersenyum ke ayahnya.

Jika dianalisa lebih dalam, maka tanggung jawab anak seumur 6 tahun ini adalah perbuatan yang sangat patut untuk ditiru. Saat ini, banyak sekali manusia yang sudah dewasa tetapi masih belum bisa menyadari tanggung jawab semacam ini. Hanya bisa menghamburkan orang tuanya, sehingga rasa tanggung jawab terhadap keluarga itu belum ada.